05 Februari 2011

Duri Israel & Derita Di Negeri Fir'aun Yang Tak Berujung


Jakarta (Voa-islam.com) - Bagai bola liar, krisis Mesir menjadi pembicaraan hangat dari rakyat biasa hingga para pemegang kekuasaan. Para Mujahidin internasional pun melihat peluang ini.

Pergantian pemimpin Mesir nyaris tidak memperngaruhi kehidupan rakyatnya. Selama pemerintahan Naser, Sadat dan Mubarak, rakyat Mesir hidup dalam kekuasaan yang otoriter. "Ketiganya dari militer. Ketiganya otoriter dengan gayanya masing-masing," kata pengamat politik Timur Tengah dari Universitas Indonesia (UI) Hamdan Basyar.

Belum tuntas derita itu, mantan duta besar AS untuk PBB John Bolton membperkeruh keadaan di TImur Tengah, ia mengatakan bahwa jika Presiden Mesir Hosni Mubarak terpental dari kekuasaan, maka itu akan mempercepat serangan terhadap fasilitas nuklir Iran.

"Saya kira itu benar. Saya tidak menganggap masih ada banyak waktu (untuk menyerang Iran). Dan saya pikir kejatuhan pemerintahan Mesir yang mematuhi kesepakatan perdamaian hampi pasti mempercepat jangka waktu serangan (terhadap fasilitas nuklir Iran)," jawab Bolton.

Bolton yang merupakan tokoh neokonservatif memiliki catatan panjang sebagai orang yang paling getol menyerukan serangan terhadap Iran.

Derita Ala Fir'aun di Mesir Modern Belum Berakhir, Dari Naser, Sadat Hingga Mubarak

Saat Mesir masih berbentuk kerajaan konstitusional di bawah Imperium Osmani, Raja Farouq, yang berasal dari dinasti Ali Pasha digulingkan pada 23 Juli 1952. Penggulingan Farouq dilakukan Gamal Abdel Naser, Anwar Sadat dan Mohammad Naguib. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Revolusi 23 Juli, yang akhirnya dijadikan Hari Nasional Mesir.

Sejak itu Mesir berubah menjadi republik setahun kemudian, 18 Juli 1953, dengan Jenderal Mohammad Naguib sebagai Presiden. Tapi pemerintahan Naguib tidak berjalan lama. Pasalnya, belum genap setahun, 25 Februari 1954, Jenderal Mohammad Naguib digulingkan oleh koleganya, Gamal Abdel Naser.

Naser yang merupakan mantan pimpinan Angkatan Bersenjata Mesir menjalankan pemerintahan dengan sangat otoriter. Semua lawan-lawan politiknya tidak bisa berkutik dibuatnya. Jangan heran kalau dua tahun kemudian ketika digelar pemilihan presiden, Naser dengan mudah bisa melenggang. Hal ini disebabkan hanya dia satu-satunya calon yang ada alias calon tunggal.

Krisis ini berakhir dengan dikuasainya terusan Suez oleh Mesir berdasarkan keputusan internasional. Setelah itu, Naser gencar membangun proyek infrastruktur besar-besaran, dengan bantuan pemerintah Uni Soviet (kini Rusia).

Setelah 17 tahun memimpin, Naser sebenarnya sudah berniat mengundurkan diri dari dunia politik. Naser akhirnya berhenti dari jabatannya sebagai peresiden pada 1970, ketika dia meninggal akibat penyakit jantung yang dideritanya. Akhirnya estafet kekuasaan Mesir jatuh ke tangan Anwar Jenderal Besar Mohammed Anwar Al Sadat, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden Mesir.

Sejak resmi memimpin Mesir 15 Oktober 1970, sistem pemerintahan yang militeristik juga dijalankan Sadat. Begitu juga dengan sikap pemerintahan Mesir terhadap Israel. Sadat dikenal sangat berani dalam menghadapi pasukan zionis yang didukung Inggris dan Prancis. Peperangan dengan Israel itu akhirnya dilakukan Sadat pada 1973, yang dikenal dengan Perang Yom Kippur.

Dalam peperangan tersebut Mesir berhasil merebut kembali semenanjung Sinai, yang dicaplok Israel ketika krisis Terusan Suez 1956 dan Perang Enam Hari. Kemenangan itu kemudian membuat pihak barat dan Israel mau diajak berunding dalam Perjanjian Camp David, yang digagas Jimmy Carter dan Henry Kissinger.

Namun sekalipun berhasil merebut kembali bukit Sinai dan Jerusalem Timur, hasil perjanjian Camp David ditentang kaum fundamentalis dan pergerakan Islam, baik di negara-negara Arab maupun di dalam negeri Mesir. Sebab Sadat dinilai telah mencederai masyarakat Arab karena mau berunding dengan Israel. Apalagi setelah itu sikap Sadat terlihat toleran dengan Israel dengan berkunjung ke negara zionis tersebut pada 1977.

Banyak anggota pergerakan Islam, yang dimotori kalangan pelajar dan mahasiswa ditangkapi. Penangkapan dan penahanan itu menyebabkan Sadat dikecam di seluruh dunia atas pelanggaran HAM yang dilakukannya. Tapi penangkapan dan penahanan yang dilakukan Sadat tidak membuat para penentangnya surut.

Pada 6 Oktober 1981, dalam sebuah parade militer Anwar Sadat akhirnya ditembak mati oleh peserta parade militer. Pelakunya merupakan anggota Jihad Islam, organisasi muslim Mesir berhaluan keras yang menentang perjanjian damai Mesir dengan Israel.

Anwar Sadat kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Hosni Mubarak. Pria kelahiran Kafr-El Meselha, Al Monufiyah, 4 Mei 1928, resmi jadi Presiden Mesir 14 Oktober 1981. Mantan Komandan Angkatan Udara Mesir itu saat memerintah juga dikenal sangat otoriter.
Di bawah Konstitusi Mesir 1981, Presiden Mubarak memiliki kuasa yang luas atas Mesir. Konstitusi Mesir 1981 merupakan keadaan darurat yang diberlakukan sejak kelompok Jihad Islam membunuh Presiden Anwar Sadat pada 1981.

Setahun terakhir bahkan Mubarak juga menangkapi sejumlah aktivis yang menyerukan reformasi di pemerintahan Mesir. Mereka bukan berasal dari organisasi Islam berhaluan keras namun Mubarak tetap menggunakan konstitusi 1981 sebagai dalil penangkapan para aktivis tersebut.
Kapan Pemerintah rabbani Ala Khilafah Islamiyah kembali tegak? Wahai Para Mujahidin datanglah ke negeri Nil dan syiarkan syariat Islam yang Agung. Kami Do'akan...

Mari umat Islam di Indonesia khusunya, mari kita bersama-sama mendoakan keselamatan dan keberkahan bagi Mesir di masa mendatang.(ant/dtk/voa-islam/d5vn2)

Re-post from: voa-islam.com

0 komentar:

Posting Komentar