29 November 2010

Economy of Hajj The Neglected Fortune

Haji sebagai rukun yang kelima ternyata bukan saja bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan dan nilai-nilai spiritual pelakunya, tetapi haji juga menyimpan potensi ekonomi yang sangat dahsyat. Ada belasan sektor industri, manufaktur, perdagangan, dan jasa yang terlibat dalam muktamar internasional tahunan umat Islam itu. 
Di antara industri yang terlibat dalam perjalanan haji adalah: (1) tours and travel dengan berbagai jenis paket dan program; (2) Garmen dan tekstil untuk kain ihram, jilbab, sorban, tas, kopor, dan sajadah; (3) Transportasi baik udara, laut, dan darat yang melibatkan ribuan pesawat, ratusan kapal laut, dan ratusan ribu kendaraan roda empat; (4) Food and Beverages baik yang menyangkut beras, gandum, minuman bersoda nonalkohol, ice cream, maupun puluhan ragam buah-buahan; (5) Telekomonikasi baik lokal, internasional, direct-line hand phone, fiber optic, maupun satellite based; (6) Perhotelan dengan berbagai jenis bintang dan network internasionalnya; (7) Perbankan untuk penerimaan setoran ONH, kartu kredit, dan travel check, serta lalu lintas transfer, (8) Asuransi untuk penjaminan dan perlindungan keamanan perjalanan, kendaraan, gedung, hotel, dan jiwa jamaah; (9) Jasa kurir dan kargo untuk pengangkutan kelebihan barang serta oleh-oleh; (10) Perlengkapan kemah dan tenda untuk jutaan jamah di Arafah dan Mina; (10) Teknologi informasi untuk mendukung sistem seperti SISKOHAT dan data based informasi di setiap maktab muasasah penyelengara haji di Arab Saudi dan mitranya di tanah air; dan (11) ratusan ribu jikalau bukan jutaan jenis barang-barang merchandise dan elektronik yang menjadi oleh-oleh jamaah untuk handai taulan dan keluarganya di tanah air.

Pertanyaannya, siapakah yang menguasai industri-industri tersebut di atas? Apakah kita sudah optimum dalam memanfaatkan potensi ekonomi umat yang dilimpahkan Allah setiap tahun ini atau kita lebih banyak menjadi pasar bagi barang-barang Amerika, Cina, dan Jepang, serta Korea Selatan?

Melihat betapa besarnya manfaat ekonomi bagi umat dari haji ini, Alquran sejak lebih dari lima belas abad yang lalu telah memberikan isyarat yang jelas bahwa kita harus menjadikan haji sebagai kekuatan ganda: (i) spiritual dan (ii) material. Dalam Surat al Haj ayat 27 dan 28, Allah berfirman,Dan serulah kepada manusia supaya menunaikan ibadah haji, niscaya mereka datang kepada kamu dengan berjalan kaki dan menunggang unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru (dunia) yang jauh. Supaya mereka menyaksikan bermacam-macam manfaat bagi mereka, mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang ditentukan, atas rezeki yang Allah karuniakan kepada mereka .....

Para ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan bermacam-macam manfaat adalah keuntungan material dan ekonomi.

Bila kita mencermati setiap tahunnya terdapat sekitar 3-5 juta Muslim melakukan haji dari seluruh penjuru dunia. Betapa besarnya angka transaksi ekonomi yang terjadi. Untuk Indonesia saja, misalnya, kuota haji adalah 210 ribu dengan 15 ribu di antaranya adalah haji plus. Jika Ongkos Naik Haji (ONH) reguler adalah Rp 27-28 juta dan rata-rata ONH plus adalah 5.000 dolar AS (paket plus berkisar antara 3.500-10.500 dolar AS), maka kita akan mendapatkan angka Rp 6,210 triliun. Angka ini akan membengkak hingga Rp 7,26 triliun bila setiap jamaah membawa bekal minimal 500 dolar AS, (walaupun banyak di antara jamaah yang membawa bekal belasan ribu dolar alias ratusan juta rupiah). Dari kalkulasi sederhana ini kita mendapatkan bahwa kira-kira setiap jamaah mengeluarkan biaya sekitar Rp 34,5 juta. Bila angka ini dikalikan dengan 5 juta jamaah per tahun maka kita akan mendapatkan angka sekitar Rp 172,5 triliun per tahun.

Sekarang kita bertanya ke mana perginya angka raksasa itu? Jawabannya hampir pasti, 20-30 persen untuk transportasi udara dan sekitar 5-7 persen untuk transportasi darat. Bila berbicara transportasi udara maka hampir pasti pihak yang paling diuntungkan adalah Boeing dan Airbus karena mereka pemegang monopoli pada industri ini. Demikian juga halnya dengan transportasi darat, triliunan rupiah dana jamaah dinikmati Mercedes Benz, Hino, Hyundai, Toyota, dan Volvo. Malangnya, tak satu pun dari nama-nama tersebut dimiliki jamaah haji atau umat Islam. Komponen terbesar haji lainnya adalah hotel. Dalam bidang yang sangat potensial, pemain-pemain asing merangsek dengan sangat giatnya. Kita menyaksikan, saat ini, masjidil haram telah dikepung oleh Hotel Hilton dan Hotel Intercontinental (Dar at Tawhid Intercontinental) dari arah pintu King Fahd, Sofitel dari arah Bab al Umrah, serta Sheraton sekitar 300 meter dari Marwah. Network Accor dan Mercure Hotel juga sudah muncul di daerah Ajyad, sementara itu, Hyatt Regency pun sudah hadir sekitar 700 meter dari Kabah. Keadaan di Madinah al Munawwarah ternyata lebih semarak lagi. Tepat di depan Masjid Nabawi, kita menyaksikan Hilton Madinah yang berdiri dengan sangat megah. Di sebelah kiri dan kanannya terdapat 3 Intercontinental dan 3 Sheraton. Yakni (1) Intercontinental Dar at Taqwa, (2) Intercontinental Dar al Iman, (3) Intercontinental Dar al Hijrah; (1) Sheraton al Harythiyah, (2) Sheraton al Karam, dan (3) Sheraton Taiba yang masih dalam taraf pembangunan. Tampak di Mathiqah al Markaziyyah, pusat kota Madinah yang baru, network Marriot Hotel juga sedang melakukan pembangunan.

Pada sisi makanan dan minuman sesungguhnya Indonesia bisa berperan cukup aktif dalam hal pasokan komoditas mengingat kesamaan asal agama dan jumlah jamaah haji yang selalu menempati ranking teratas. Tetapi, sangat disayangkan, kita masih mendapatkan apel dari Ekuador, pisang dari Guatemala, dan aprikot dari Madagaskar. Pengalaman pribadi yang paling menyedihkan adalah ketika berjalan-jalan di daerah Sulaemaniyyah, Makkah, yang penuh dengan toko makanan Asia dan Indonesia. Mata saya hampir tidak bisa dipejamkan ketika melihat satu karung beras bertuliskan "Cianjur Rice Produced in Thailand", beras pandan wangi Cianjur yang ditanam dan diekspor oleh petani-petani Thailand. Sebagai orang Indonesia dan dibesarkan di Sukabumi yang berjarak hanya 29 kilometer dari Cianjur rasa nasionalisme saya hampir tidak bisa membenarkan apa yang saya lihat. Tetapi, apa boleh buat karena pemerintah Thailand lebih serius dalam mendorong agroindustri para petaninya. Kesamaan agama, jumlah kuota haji, dan kekerabatan yang berabad-abad lamanya tidak bisa berbicara banyak bila dibenturkan dengan tingginya kualitas, bersaingnya harga, teraturnya pasokan, dan lancarnya pengapalan.

Bila kita berpindah dari makanan ke merchandise, maka hanya ada satu nama yang dominan yaitu RRC. Label made in China dapat kita saksikan di hampir segala jenis barang. Dari mulai tasbih, sajadah, kopiah, kerudung, selimut, mantel, sepatu, bahkan hingga jeriken zamzam pun mereka tidak ketinggalan memanfaatkannya. Demikian juga halnya dengan komoditas mainan anak-anak dan elektronik, yang sering kali diborong oleh jamaah di punggungnya, jarang sekali ditemukan made in Kuwait, made in Marocco atau made in Tunis, yang ada hanyalah made in Taiwan, made in Hongkong atau made in Japan.

Potensi real haji yang masih belum digarap serius adalah pengendapan dana selama masa penyetoran dan prapembayaran. Biasanya, jamaah haji sudah mulai menyetorkan dalam bentuk tabungan atau cicilan uang muka ke travel sekitar bulan April. Masa pengendapan ini akan berlangsung hingga September, bahkan Oktober atau sekitar 6-8 bulan. Apa yang terjadi saat ini adalah dana tersebut tercecer di berbagai bank dengan sifatnya yang ad hock, habis setiap tahunnya. Pertanyaan klasik di sini adalah mengapa kita tidak bisa berbuat seperti Tabung Haji Malaysia, yang mewajibkan penyetoran ONH 5 tahun ke muka. Walaupun tabung haji Malaysia jumlah jamaahnya hanya 10 persen dari jamaah Indonesia kini, tabung haji adalah majority share holder di Bank Islam Malaysia, Asuransi Takaful Malaysia, dan di puluhan listed company di Kuala Lumpur Stock Exchange (KLSE), yang meliputi berbagai industy seperti palm oil, property, manufacture, medical, IT, dan lain-lain. Dalam salah satu kesempatan dengan otoritas moneter dan petinggi Depag beberapa tahun yang lalu, pernah, kami usulkan agar pemerintah, dalam hal ini Depag, mengambil inisiatif take over Bank Danamon dari BPPN dengan menggunakan dana abadi ONH dan menjadikannya sebagai bank dana haji yang memegang monopoli penerimaan haji seluruh Indonesia. Asumsi Danamon karena itulah bank swasta terbesar setelah BCA yang memiliki cabang di setiap kabupaten dan hampir 1.000 mesin ATM. Sekalipun belum sampai ke taraf tabung haji Malaysia, dengan skenario ini, maka: (1) tak kurang dari 6,2 triliun dana umat akan masuk secara murah (dari sisi cost of fund) setiap tahun dan (2) angka ini akan berlipat 3-5 kali lipat jikalau kita wajibkan setor ONH di muka untuk jaminan kuota hingga 5 tahun di muka. Dengan kekuatan dana 20-30 triliun, lembaga keuangan tersebut dapat berbuat banyak sekali untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi umat, minimal, dengan memanfaatkan rasio floating dana yang aman setelah kebutuhan operasional haji. Semoga di masa mendatang kita tidak menjadikan muktamar tahunan Muslim dunia sebagai the neglected fortune lagi.

Sumber: syafiiantonio.com

0 komentar:

Posting Komentar