23 Oktober 2010

Zakat: Dilirik Setengah Hati


Setidaknya ada 4 hal menarik dari artikel ‘Zakat dan Pemberdayaan Ekonomi’ yang ditulis Fahruddin Salim (Kontan, 9 Oktober 2007). Pertama zakat dikaitkan dengan Ramadhan. Kedua potensi zakat yang kerap membuat terbelalak. Ketiga peran zakat dalam pemberdayaan ekonomi. Dan terakhir contoh pengelolaan zakat di negara jiran Malaysia dan Singapura. Kita kupas satu per satu apa yang jadi catatan Fahruddin Salim. Pertama mengaitkan zakat di Ramadhan, siapa sangka itulah kekeliruan terbesar. Sungguh Ramadhan tak kenal zakat harta, profesi dan niaga. Ramadhan hanya kenal zakat fitrah dan gandakan sedekah. Kekeliruan pun berlanjut. Sebab tak satupun lembaga zakat yang berani koreksi tradisi ini. Bukannya disadarkan, masyarakat malah makin didorong berburu pahala dengan slogan memikat lembaga zakat. Inilah ‘kekeliruan yang dibungkus kebajikan’.
Berharap pahala boleh. Karena tindakan kebajikan memang selalu diiming-imingi surga. Yang tak tepat jika rapelan zakat profesi selalu di Ramadhan. Bukankah ini ego muzaki. Demi pahala, muzaki tak peduli pada fakir miskin di 11 bulan yang lain. Dan di saat yang lain puasa Ramadhan, fakir miskin justru disilakan pesta zakat. Pertanyaannya, bisakah zakat Ramadhan atasi soal fakir miskin? Sulit. Berbulan-bulan anak yang putus sekolah, telah akrab dengan kehidupan jalanan. Yang sudah terjerat kriminal dan kelamnya dunia, mudahkah dibujuk kembali ke sekolah dengan zakat Ramadhan?
Kedua potensi zakat memang menggiurkan. BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) mencatat Rp 13 triliun. PIRAC sebuah LSM yang dikomandoi Zaim Saidi, mendata Rp 16 triliunan. UIN Syarif Hidayatullah mensurvei potensi yang Rp 19 triliun. Sedang hitungan saya malah di atas ketiga lembaga tersebut.
Kalkulasinya begini. Penduduk Indonesia yang 220 juta, katanya 80% muslim. Dibulatkan ada 180 juta. Kaya dan miskin dibagi dua, masing-masing 90 juta orang. Mencacah yang miskin musti jiwa. Sementara menghitung yang kaya, harus kepala keluarga. Dengan tiga anak, jumlah anggota keluarga kaya jadi lima. Maka 90 juta : 5 ada 18 juta KK. Dari 18 juta muslim kaya, berapa yang mau jadi muzaki? Inilah yang jadi soal.
Kemampuan muzaki berbeda-beda. Dalam konteks zakat dipilah atas tiga potensi:
Potensi Terendah, bayar zakat Rp 50 ribu/bulan. Jika muzaki cuma 10/%, terhimpun Rp 90 miliar/bulan = hampir Rp 1,1 triliun/tahun. Total 18 juta mau muzaki semua, zakatnya Rp 900 miliar/bulan setara dengan Rp 10,8 triliun.
Potensi Progresif dengan tunaikan Rp 100 ribu/bulan. Dengan 10% dari total 18 juta KK, terhimpun zakat Rp 180 miliar/bulan. Dengan muzaki 18 juta, maka terkumpul Rp 1,8 triliun/bulan. Pertahun diperolah angka Rp 21,6 triliun.

Potensi Ideal jika keluarkan zakat Rp 150 ribu/bulan. Himpunan terkecil yang 10%, zakatnya di kisaran Rp 270 miliar/bulan. Jika 18 juta mau bayar zakat semua, diperoleh angka Rp 32,4 triliun.

Itulah potensi zakat yang memang meruah. Tapi data FOZ (Forum Zakat) membuat tersedak. Tahun 2005, total zakat yang dihimpun LAZ dan BAZ (Badan Amil Zakat) seluruh Indonesia, cuma Rp 500-an miliar. Tahun 2006 berkisar Rp 600 miliar. Himpunan total itu, tak mencapai 10% Potensi Terendah.
Catatan Fahruddin Salim ketiga berkait dengan peran zakat. Ditilik dari akar sejarah, di masa lalu zakat jadi instrumen fiskal negara. Dengan fiskal, peran zakat tak muluk hanya konsumtif untuk fakir miskin. Tak perlu zakat diutak-atik demi pemberdayaan ekonomi. Sebab ekonomi dan lapangan kerja, jadi tanggung jawab negara. Jika pun ada peran zakat untuk ekonomi, prosentasenya tak signifikan.

Keempat justru inilah berkait dengan catatan Fahruddin tentang negara jiran. Ada beberapa jawaban singkat mengapa zakat di Malaysia dan Singapura lebih maju. Pertama zakat dikedua negara itu mengurangi pajak. Di Indonesia masih PPKP (Pengurang Penghasilan Kena Pajak). Kedua ekonomi Malaysia dan Singapura, telah dibangun baik. Artinya negara bertanggung jawab penuh dalam memberi kesejahteraan rakyat. Ketiga karena itu pemerintah baik Malaysia dan Singapura tak turut campur. Pemerintah malah beri kebebasan penuh pengelolaan zakat. Boleh menggunakan model apapun. Yang penting, dana itu bisa dipakai untuk bantu fakir miskin.
Tapi fakir miskin seperti apa? Sulit menjumpai fakir miskin di Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Di Kuala Lumpur tahun 2004, warga dianggap miskin jika berpenghasilan di bawah RM 1.300. Dirupiahkan, nilainya setara Rp 3 ¼ juta. Di Singapura, tiap KK miskin memiliki rekening bank. Setiap bulan mereka mendapat santunan. Bahkan muzaki di Singapura, disediakan beragam hadiah jika bayar zakat antara Juli sampai Desember. Tiap Desember, bukankah puncak pembayaran pajak. Sedang di Brunei, tiap KK yang dianggap miskin dapat bantuan hidup Rp 7 jutaan/bulan. Di jelang Iedul Fitri, mereka juga dapat santunan Rp 8 juta/keluarga. Jika ingin bangun rumah, zakat Brunei telah alokasikan bantuan hingga maksimal Rp 270 juta.

Jelas di Malaysia, Singapura dan Brunei, tak ada yang miskin apalagi fakir. Yang ada adalah orang yang penghasilannya kecil dibantu yang berpenghasilan tinggi. Jika tak ada fakir miskin, maka berhakah mereka dana zakat? Inilah peluang memalukan Indonesia, ‘mengemis’ zakat negeri jiran.
Banyak yang bilang, penataan Indonesia sebagai negara belum selesai. Maka bicara zakat pun tak kunjung usai, tak jelas kemana arahnya. Antara potensi dan realita, kerap kandas mengecewakan. Antara tausyiah dan manajemen, gagal disiasahi kapan dipisah dan kapan disinerjikan. Tausyiah normatif harusnya jadi landasan manajerial. Yang terjadi pengelolaan zakat, cukup hanya dianjur-anjur kebaikan. Kita kering akan praktek manajemen. Mempositifkan perkara normatif tak laku di negeri ini. Tampil di panggung memang memukau. Jarang yang mau, buat panggung dan cabut paku terakhir begitu perhelatan usai.
Dalam hal cara pandang, pemerintah pun punya selera sendiri. Alih-alih dianggap asset, beragam LAZ yang tumbuh di masyarakat malah dianggap pesaing. Pemerintah memang masih setengah hati. Buktinya untuk atasi kemiskinan 2008, pemerintah malah utang Rp 60-an triliun ke World Bank dan JBIC (Japan Bank for International Cooperation). Aneh, utang dikejar zakat diabaikan. Padahal utang musti dibayar dengan dollar, lantas konsultan pun harus dari mereka serta kebijakan di tangan mereka. Sementara zakat yang berpotensi diabaikan. Entah masih adakah nurani bangsa ini.

0 komentar:

Posting Komentar