12 Februari 2011

Memberi Kailnya bukan Ikannya

Alhamdulillah, betapa nikmatnya bila kita memiliki dan sempat berbagai reski dengan saudara-saudara kita yang kebetulan diuji oleh Allah dengan kesempitan reski dalam bentuk materi. Ada perasaan lega ketika uluran tangan kita dapat meringankan beban berat yang mereka pikul, melapangkan kesempitan yang tengah mereka hadang. Perasaan itu adalah hukum atau sunnatullah kehidupan yang ditetapkan bagi orang-orang yang mau berbagi dengan ikhlas.

Cukup banyak di antara kita yang mau berbagi dengan kaum dhu’afa, seperti memberikan sesuatu dalam bentuk sedekah, wakap atau zakat mal. Namun sedikit yang benar-benar berpikir apakah pemberian kita bisa bermanfaat maksimal bagi penerimanya. Buktinya seringkali bantuan yang diberikan dibagi-bagi untuk banyak orang sehingga jumlah yang diterima perorang menjadi sedikit. Bahkan ketika seseorang mengeluarkan zakat mal, dimana jumlah zakat yang dikeluarkan cukup banyak, tetapi yang menerimanya juga banyak. Akibatnya bantuan yang diberikan lebih sering dipergunakan dalam bentuk konsumtif, tidak pruktif.

Seorang saudara saya pernah berpikir positif tentang hal ini. Saat itu ia akan mengeluarkan zakat hartanya yang sudah melebihi nisab dan cukup waktu. Ia ingin zakat yang akan dikeluarkan dapat mengentaskan seorang mustahik (yang menerima zakat) dari kemiskinan.

Sambil duduk di teras ia terus berpikir bagaimana caranya, tiba-tiba lewat seorang pengemis yang belum terlalu tua, usianya sekitar empat puluhan tahun. “Pak, ke sinilah sebentar, saya mau menanyakan sesuatu”, ucapnya ramah kepada pengemis. Pengemis itu mendekat, lalu menduduki satu kursi setelah dipersilakan saudara saya.

“Maaf ya Pak, jangan tersinggung. Bapak sudah berapa lama bekerja seperti ini”?

“Satu bulan ini Pak, sebenarnya saya malu meminta-meminta. Tetapi tidak ada lagi pekerjaan yang dapat saya lakukan, terpaksa begini,” jawabnya sambil menundukkan wajah.

“Bapak sebelumnya kerja apa”?

“Buruh bangunan Pak, sudah tiga minggu saya tidak dapat kerjaan” terangnya lagi. “Bapak mau kerja keras”? tanya saudara saya.

“Mau Pak, mau” jawab segera. “Tetapi kerja apa Pak”?

“Menarik becak misalnya”.

“Mau, tetapi becak siapa? Saya ndak punya Pak.” jawabnya memelas.

“Begini, saya akan belikan Bapak satu becak, tetapi syaratnya, Bapak kerja dengan sungguh-sungguh. Penghasilannya sebahagian Bapak pakai untuk kebutuhan rumah dan sebahagian lagi wajib Bapak tabung. Tidak usah setor sama saya. Kalau mau, Bapak besok datang lagi kesini mengambil becak itu” jelas saudara saya.

Besoknya sipengemis datang mengambil becak yang dibeli saudara saya di bengkel dengan harga tidak lebih dari 400 ratus ribu rupiah, kurang dari 50 persen dari jumlah zakat yang wajib ia keluarkan.

Empat bulan sesudah itu, sang pengemis datang lagi ke rumah saudara saya.

“Pak, tabungan saya sekarang cukup untuk membeli satu becak lagi, harus saya berikan pada Bapak atau bagaimana”? tanyanya penuh semangat.

“Hahhh, selamat Pak. Tak usah berikan pada saya, itu hak Bapak. Saran saya, beli saja satu becak lagi, suruh teman atau saudara membawa, penghasilannya tetap Bapak tabung”. Jawab saudara saya gembira.

Begitulah, tiga bulan sesudah itu ia datang lagi mengabarkan tentang jumlah tabungannya. Saudara saya kembali menyuruhnya menambah jumlah becak dan menabung penghasilannya. Singkat cerita si pengemis menjadi juragan becak yang jumlahnya sampai sepuluh. Akhirnya ia berubah menjadi pemiliki dua angkot. Hidup benar-benar berubah dari miskin papa menjadi orang yang cukup berpunya. Dengan cara itu sipengemis (dulunya) bersama isterinya dapat menyekolahkan anak-anak mereka dan terakhir menunaikan ibadah haji.

Artinya, saudara saya telah berhasil memberikan kail kepada seseorang yang butuh ikan. Andai kata ia membagi-bagikan uang 20 ribu kepada beberapa pengemis, dapat dipastikan ia tidak akan pernah bisa mengangkat simiskin dari jurang penderitaannya.

Bila saja para muzakki (pemberi zakat) berpikir seperti sauara saya di atas dan juga melakukannya, setiap tahun akan ada beberapa orang kaum dhu’fa yang terangkat dari kemiskinannya. Sekalipun mereka yang dibantu (diberi zakat) tidak semuanya bakal kaya, minimal ada target tahun depan mereka tidak lagi menjadi mustahik.

Subhannallah, betapa nikmatnya bila kita jadi satu di antara yang dapat melakukannya. Membantu seseorang, pada hakekatnya menambah apa yang sudah ada pada kita.

Re-post from: dinarku2010.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar