14 November 2010

Haji: Sebuah Usaha Memaknai Kehidupan

Ilustrasi (Foto Koran SI)
Aku datang memenuhi panggilan-Mu Aku datang memenuhi panggilan-Mu
Tiada sekutu-Mu
Ya Allah aku datang memenuhi panggilan-Mu
Sesungguhnya segala puji, kenikmatan
Dan semua kekuasaan adalah milik-Mu
Tiada ada sekutu bagi-Mu 
Doa di atas akan selalu berkumandang pada setiap tahun di bulan Dhulhijah, secara koor manusia dari tiap pelosok negeri akan melantunkan ditengah terik padang pasir. Lantunannya seakan menjadikan tanah Arab menjadi dingin serta hati para Hujaj (orang yang melaksankan ibadah haji) lelap dari ritual warisan Ibrahim.

Ibadah haji memiliki keistimewaan tersendiri, sebab haji merupakan paduan antara ibadah jasmaniah dan maliyah (harta). Ini menunjukan seolah-olah haji merangkum dari semua rukun Islam. Lebih jauh, haji sendiri secara terminologi mempunyai arti menuju baitullah guna menunaikan perbuatan yang diwajibkan, seperti tawaf dan wukuf di Arafah dalam keadaan ihram disertai dengan niat haji.

Pertanyaannya, adakah haji hanya sekedar ritual agama, yang tidak memiliki makna dibalik kenampakan. Sebab perhatikan realitas di Negara kita yang memiliki calon dan alumni haji yang tidak bisa dibilang sedikit. Di Negara ini sudah menjadi rahasia umum bahwa haji dapat meningkatkan gengsi serta status sosial dalam masyarakat. Selain itu, haji merupakan lahan bisnis murni yang dapat menghasilkan keuntungan besar bagi pengelola dan penyedia jasa. Berkaca pada realitas ini, jelas haji oleh sebagian orang sekedar dimaknai sekedar ritual jasmaniah.

Realitas di atas, bukan alasan untuk dapat mengatakan bahwa haji hanyalah sekedar “ritual kosong” tanpa makna. Realitas adalah diskripsi faktual yang perlu disifati melalui diskripsi tekstual. Sehingga antara yang faktual dan yang tesktual dapat dicairkan, serta memiliki kenampakan yang satu. Dengan bahasa sederhana dapat dikatakan, faktual adalah kontekstual, dan sebaliknya kontekstual adalah faktual.

Haji merupakan manifestasi dari penyerahan hamba secara totalitas, karena dalam haji seseorang muslim tidak hanya berkorban tenaga, melainkan juga waktu dan lebih-lebih harta. Bila ibadah lain dalam agama Islam hanya dituntut pengorbanan waktu dan tenaga, dalam haji seorang muslim harus meninggalkan segala keribetan dunia, untuk menemui Dia yang sedang menantikan kedatangan kalian.

Eksistensi manusia tidak ada artinya kecuali jika tujuan hidup terposisikan dan terfokuskan. Tujuan hidup muslim tak lain dan tak bukan adalah menuju rahmat Allah. Oleh karena itu, melakukan perjalanan haji merupakan cerminan kepulangan muslim kepada Allah yang mutlak dan tidak memiliki keterbatasan. Pulang kepada Allah merupakan serbuah gerakan menuju Dia. Fungsi semacam ini diistilakan kemustahilan untuk menghadirkan (the impossibility of representation), meminjam isitilah kritikus sastra postmodern. Saat menunaikan haji manusia akan sadar bahwa ia benar-benar sama dan sederajat di hadapan Allah.

Mulai dari miqot darma haji dimulai, setiap individu harus mengenakan pakaian putih yang sederhana tanpa disertai jahitan dan aksesoris lainnya (baca: pakaian ihram). Pada titik ini, setiap manusia sudah tidak lagi mempunyai perbedaan yang dikonstruk oleh diri sendiri, seorang jenderal, menteri, ataupun presiden sudah tidak berhak untuk memerintah serta mengenakan pakaian kebesarannya.

Segala keakuan dan kecenderungan yang mementingkan diri sendiri harus dikubur, setiap individu harus menjadi manusia sebagaimana seharusnya. Yaitu memuji serta kembali kepada Allah swt, sebagaimana yang difirmankan ”Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk) (QS 24/ 42)

Dari miqot manusia harus melahirkan dirinya yang baru sekligus dipenuhi dengan sifat keagungan Allah, dan menanggalkan semua sifat-sifat hewani yang melekat pada dirirnya. Miqot secara simbolik berarti pemisahan atas masa lalu yang suram dan menuju masa depan yang baik dan penuh rahmat Allah.

Sebelum sampai miqot yang merupakan tempat “start revolusi total” atas segala sifat ke-egoan, setiap individu terlebih dahulu harus memantapkan dan menyatakan niat. Niat memiliki kedudukan yang urgen dalam bangunan ibadah umat Islam. Sebab niat merupakan elan serta motivasi dalam diri yang bisa menjaga suatu ritual ibadah terlaksana sampai paripurna sesuai dengan yang diharapkan.

Lebih-lebih dalam ibadah haji yang merupak manifestasi dari hijrah, hijrah dari rumah menuju rumah Tuhan, hijrah dari diskriminasi rasial untuk memperoleh persamaan dan pengakuan, hijrah meninggalkan hidup untuk memperoleh cinta. Singkatnya, hijrah pada ibadah haji adalah perpindahan menuju kedalam keadaan ihram (baca: kemuliaan).

Kisah Teladan

Hajar merupakan tokoh menarik yang dapat dijadikan tauladan dalam perhelatan akbar ibadah haji. Hajar mendapat perintah dari Allah untuk meninggalkan rumahnya beserta putra yang masih menyusu menuju lembah seram di Makkah yang tidak memiliki sumber mata air. Konsekuensi logisnya, ditempat tersebut tidak dijumpai pepohonan untuk berteduh. Sepintas perintah ini sangat aneh, karena seorang perempuan dan anaknya dibuang di lembah tanpa air, tanpa tempat berteduh, serta tanpa teman yang dapat melindungi.

Memahami perintah tersebut sekedar mengedepankan akal, pastilah tidak akan sampai bahkan menganggap perintah Tuhan tak lebih merupakan sebuah siksaan. Sebagai seorang muslim dalam memahami realitas, sudah semestinya tidak hanya dipahami dari segi yang terusarat an sich. Tetapi juga dimensi metafisik-nya yang bisa ditangkap melalui proses trasendensi.

Bila itu yang diperbuat, akan dapat dipahami bahwa yang diharapkan oleh Allah adalah kepasrahan yang mutlak kepada-Nya. Sifat pasrah kepada Allah dapat timbul melalui rasa cinta kepada-Nya. Setiap manusia akan hidup dengan cinta, jika ruh dan jiwa telah mengenal cinta.

Berbekal argumen ini tak salah jika sufi besar Rabi’ah al-Adawiyah pernah mengeluarkan adagium yang cukup popular, “Akan aku bakar surga dengan api dan kusiram neraka dengan air”. Dengan demikian akan jelas siapa yang memuja Allah karena cinta, dan bukan karena takut api neraka atau harapan kenikmatan surga.

Haji sendiri merupaka tradisi warisan Nabi Ibrahim yang mendapat legitimasi dari agama untuk dijalankan. Ibrahim merupakan prototip seorang pemberontak terhadap mereka yang menghambakan diri terhadap tuhan-tuhan yang diciptakannya sendiri. Walaupun Ibrahim lahir di tengah-tengah rumah Azar yang notabane-nya pembuat berhala.

Fenomena ini menggambarkan bahwa Ibrahim merupakan sosok pemuda cerdas yang dalam melakukan perlawanan tanpa harus melalui kekerasan. Namun lebih mengedepankan sifat dialog guna menunjukkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan umatnya.

Kecerdasan Ibrahim dapat dilihat pada waktu ia mencari Tuhannya, beliau pernah menganggap matahari sebagai Tuhan. Namun setelah diketahui bahwa matahari meskipun lebih terang dan besar daripada bulan, matahari masih tetap tenggelam. Akhirnya sang Ibrahim memutuskan untuk menyembah pencipta bulan dan matahari.

Pada titik ini, mari berhenti sejenak guna merenungkan dan mempelajari aktor-aktor yang berada dibalik ritual ibadah haji. Dengan harapan para hujaj bisa menjadi haji yang membawa predikat haji mabrur. Sehingga ibadah haji bukan sekedar setumpuk ritual dari pemberangkatan yang dikemas begitu mewah, sampai pencantuman konsonan “H” dengan huruf kapital di depan nama.

Alhasil, melalui refleksi ini semoga para hujaj negeri ini bisa mewarnai hidup dan kehidupan dengan semangat “pemberontakan “ terhadap kemungkaran sebagaimana diceritakan Ibrahim, sekaligus menunjukkan sifat pasrah dan cinta sebagaimana termanifestasikan pada sosok Hajar. Bila selama ini kita belum mampu mencetak hujaj yang ideal, sudah seharusnya kita memahami haji bukan sekedar dari kacamata syariat saja, tetapi juga harus melibatkan tradisi kearifan Islam (sapiental tradition), yaitu suatu tradisi intelektual yang mencari alasan-alasan mendasar dalam ajaran agama Islam.

Artinya, menyeimbangkan antara dataran esotoris dan eksotoris ketika melakukan ibadah haji. Bila dalam syariat, cenderung mengajarkan apa yang harus dilakukan dan ditinggalkan dalam melaksanakan ibadah haji, maka dalam tradisi kearifan (esotoris) mengajarkan pemahaman terhadap maksud yang bersemayam di setiap ritme gerak haji. Semoga Allah setuju terhadap semua usaha kita untuk memperbaiki tingkah laku dalam kehidupan yang semakin materilaistis.

Penulis : Yani Arifin Sholikin
Pemerhati Masalah Sosial dan Keagamaan
sumber: http://news.okezone.com/read/2010/10/22/394/385117/394/haji-sebuah-usaha-memaknai-kehidupan

0 komentar:

Posting Komentar